Senin, 23 Maret 2015

Optimisme Pertumbuhan Ekonomi Jokowi Meragukan

Optimisme Pertumbuhan Ekonomi Jokowi MeragukanIpotnews - Presiden Joko Widodo kembali menegaskan optimismenya bahwa dengan berbagai perbaikan, pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,7 persen.

Namun, optimisme tersebut dinilai berlebihan di tengah kondisi domestik dan eksternal
yang dihadapi Indonesia.

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang dimulai Oktober 2014, mewarisi ekonomi dengan investasi yang rendah pada infrastruktur, anjloknya harga komoditas, dan berakhirnya program stimulus di Amerika Serikat.

Bank Indonesia sejak Juni 2013 terus mempertahankan kebijakan ekonomi ketat untuk melindungi rupiah dan pertumbuhan ekonomi untuk kuartal keempat 2014 mungkin hanya sebesar 4,9 persen secara tahunan, laju paling lambat sejak 2009 menurut survei Bloomberg.

Jokowi memang telah menjanjikan berbagai terobosan, mulai dari reformasi birokrasi dan perizinan, pembangunan infrastruktur dari penghematan subsidi minyak, meningkatkan volume ekspor, dan meningkatkan investasi. 
Bahkan, dengan terobosan itu, Jokowi yakini pertumbuhan tahun depan bisa antara 6,3 hingga 6,9 persen.“Kami yakin memiliki pertumbuhan ekonomi 5,7 persen tahun ini,” tegas Jokowi dalam wawancara dengan Bloomberg, seperti dirilis Rabu (4/2).

“Tapi kami harus meningkatkan volume ekspor dan harus mereformasi birokrasi. Kami harus mengundang FDI (investasi asing langsung).”Namun, sebelumnya, Bank Dunia memperkirakan Indonesia hanya bisa tumbuh 5,2 persen tahun ini dan 5,5 persen pada 2016. Sedangkan menurut survei Bloomberg, tahun ini pertumbuhan kemungkinan hanya 5,06 persen.Perkiraan pertumbuhan yang moderat tersebut bukan tanpa alasan. Harga ekspor komoditas utama Indonesia kemungkinan belum pulih dalam waktu dekat. Batubara terus anjlok tahun ini dan saat ini sudah kehilangan harga lebih dari separuh sejak akhir 2010.

Kelapa sawit juga demikian, tahun ini tetap akan turun meski sedikit terbatas, karena permintaan melemah di tengah tingginya pasokan, setelah merosot 16 persen pada tahun lalu.Sementara itu, harga minyak mentah yang jatuh tajam juga akan menurunkan pemasukan pemerintah. Negara akan kehilangan sekitar Rp158,8 triliun pendapatan karena penurunan harga minyak, menurut Nomura Holdings Inc.

Jika hitungan itu benar, pendapatan yang berkurang itu akan meminimalkan penghematan yang dilakukan pemerintah dari pemangkasan subsidi BBM yang sebesar Rp230 triliun.Dari sisi eksternal, Indonesia dijuluki “the fragile five” oleh Morgan Stanley pada 2013,
karena defisit ekternal yang besar membuat Indonesia rentan terhadap arus modal keluar.

 Meski, untuk neraca transaksi berjalan bisa menyempit dari 4,4 persen pada kuartal kedua 2013 menjadi 3-3,5 persen (perkiraan BI) pada tahun ini, dibandingkan dengan perkiraan sekitar 3 persen pada 2014.
Di pihak lain, ekonom Bank Dunia, Ndiame Diop, mengingatkan bahwa proyek-proyek infrastruktur besar yang dijanjikan Jokowi bisa memacu impor yang tentu akan memberi tekanan pada neraca perdagangan.

Dengan neraca yang terus defisit, sulit bagi Bank Indonesia untuk mengikuti benak sentral regional yang mulai memangkas suku bunga untuk mendorong perekonomian.Standard Chartered Plc mengatakan, sebagian besar kliennya di Indonesia memperkirakan bank sentral cenderung mempertahankan atau bahkan meningkatkan suku bunga acuan pada tahun ini.

Konflik KPK-Polri

Secara khusus, panasnya suhu politik akibat konflik KPK-Polri juga menjadi perhatian. Diingatkan, kegagalan Jokowi menunjukkan kepemimpinan yang kuat akan mengurangi kredibilitasnya dalam mendorong reformasi ekonomi dan memberantas korupsi. “Mungkin akan ada riak efek,” kata Diop.

Namun, Diop kembali menyoroti sisi ekonomi dengan merujuk pada perkiraan sekitar 50 persen dari anggaran pemerintah pusat akan dikelola oleh pemerintah daerah, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa pelaksanaan infrastruktur dan belanja akan lebih lambat dari yang diharapkan karena kesulitan dalam mentransmisikan kebijakan dari pemerintah pusat.
Risiko GlobalPerekonomian global dinilai tidak mungkin memberikan banyak dukungan kepada Indonesia tahun ini, dengan pelemahan di Jepang, Eropa, dan China, yang merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia. Sementara itu, pemulihan di AS diperkirakan akan mendorong The Federal Reserve menaikkan suku bunga, sehingga mengurangi daya tarik aset di pasar negara berkembang seperti Indonesia.

“Ini akan menjadi tahun yang sangat sulit secara eksternal,” Mari Pangestu, mantan Menteri Perdagangan dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg Television, Rabu (4/3).
Penguatan ekonomi AS dan perlambatan pertumbuhan di China adalah “kombinasi yang buruk” bagi Indonesia karena harga komoditas mungkin akan terus jatuh, kata Benedict Bingham, Perwakilan Senior Dana Moneter Internasional (IMF) di Jakarta.
Sementara, perombakan ekonomi yang dijanjikan oleh Jokowi kemungkinan memerlukan waktu untuk sampai ke manfaat ekonomi. Proyek infrastruktur besar mungkin memerlukan waktu. sedangkan target mengangkat ekspor non-komoditas tergantung pada peningkatan pasokan tenaga kerja terampil.
“Apakah kita benar-benar bisa menggelar proyek infrastruktur dengan cepat, ini adalah pertanyaan besar. Masalahnya adalah pada implementasi,” kata Mari.(Bloomberg/ha).
....
https://indonesiacompanynews.wordpress.com/2015/02/06/presiden-joko-ekonomi/