Ekspor komoditas terus tertekanIndonesianReview.com - Rasio pembayaran utang luar negeri terhadap debt to service ratio (DSR) sudah mencapai 56,08%. Hati-hati.Depresiasi
rupiah terhadap dolar AS memang memakan banyak ‘korban’.
Selain harga kebutuhan pokok melambung dan importir menjerit, menguatnya dolar AS juga telah menaikkan nilai utang pemerintah.Kalau pada Mei 2015 posisi utang pemerintah senilai Rp 2.843,25 triliun, tapi pada akhir Juni 2015 sudah menjadi Rp 2.864,18 triliun.
Selain jumlah pokok utang yang bertambah, pelemahan rupiah juga telah menambah beban bunga utang. Pada akhir Juni 2015 belanja beban bunga utang sudah sebesar Rp 73,61 triliun atau 47,3% dari pagu Rp 155,73 triliun.Nah, sudah bisa dibayangkan kalau dolar AS semakin kuat, nilai utang itu semakin membengkak.
Apalagi, dana investor asing yang ditempatkan di surat berharga negara (SBN) secara mendadak bisa kabur, bila mereka menghitung situasi di Indonesia sudah tidak baik untuk beternak uang.
Tak hanya utang luar negeri pemerintah yang mengkhawatirkan. Pertumbuhan utang luar negeri swasta juga semakin bikin cemas. Kalau pada akhir Desember 2014 jumlahnya US$ 162,8 miliar, tapi kuartal I-2015 sudah mencapai US$ 165,3 miliar.
Jumlah utang swasta ini diperkirakan akan terus membengkak karena Bank Indonesia (BI) hingga kini masih menerapkan kebijakan moneter ketat. Inilah satu yang membuat banyak perusahaan akhirnya harus mencari pinjaman ke luar negeri, yang kebetulan bunganya juga lebih murah.
Faktor biaya memang menjadi salah satu pertimbangan perusahaan yang ingin mencari pinjaman dari luar negeri.
Saat ini, rata-rata tingkat suku bunga pinjaman luar negeri adalah sekitar 4% per tahun. Jauh lebih murah ketimbang bunga kredit di dalam negeri yang mencapai 12%.
Tak hanya mahal, belakangan bank-bank di dalam negeri pun semakin pelit mengucurkan kreditnya.
Masalahnya adalah jika mata uang dolar AS semakin menguat terhadap nilai rupiah, utang itu bisa menjadi malapetaka. Sebab, semakin dolar AS menguat, semakin besar pula jumlah utang yang harus ditanggung perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS.
Apalagi, jika para pengelola korporasi, termasuk BUMN tidak berhati-hati dalam mengelola utang luar negeri, maka mereka bakal terkena risiko nilai tukar maupun risiko jangka waktu.
Situasi utang pemerintah dan swasta memang sudah mengkhawatirkan. Apalagi, bila melihat rasio pembayaran utang luar negeri terhadap penerimaan transaksi berjalan atau debt to service ratio (DSR), yang sudah 56,08%, naik dibanding akhir tahun lalu yang hanya 46,48%.
Dengan DSR di atas 50%, bagaimana prospek pemerintah membiayai utang luar negerinya? Sebab, bukan apa-apa, wajah ekspor kita ke depan masih muram, karena 70% barang yang diekspor adalah komoditas primer yang harganya sedang anjlok. Ditambah lagi, kondisi perekonomian global tidak bagus, terutama Cina yang menjadi andalan utama ekspor Indonesia.Berdasarkan analisa future market Bank Indonesia, penurunan harga ekspor komoditas Indonesia tahun ini bisa 11%, lebih dalam dibanding sebelumnya yang diperkirakan 5%.
Kalau ekspor tertekan, otomatis DSR meningkat.Kalaupun di tahun depan ekonomi global membaik, Indonesia belum bisa langsung menikmati hasil ekspor komoditas primer. Sebab, yang kita ekspor bukanlah komoditas jadi, tapi komoditas bahan baku. Jadi, ada jeda waktu untuk menikmati hasilnya.Semua ini, tentu saja sangat mengkhawatirkan. Bila tim ekonomi pemerintah tak mahir mengelolanya, utang itu bisa berubah menjadi malapetaka. Kita tentu tak ingin.
...http://indonesianreview.com/satrio/utang-kita-sudah-berbahaya